Gelombang PHK Massal di Industri Tekstil: Anggota DPR RI Sihar Sitorus Soroti Faktor Penyebab dan Dampak Regulasi
Jakarta – Anggota DPR RI Komisi IX dari Fraksi PDI Perjuangan, Sihar Sitorus, menyoroti faktor-faktor penyebab gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di industri tekstil, terutama di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Dalam rapat bersama Kementerian Tenaga Kerja, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, Sihar menegaskan bahwa PHK massal ini bukan sekadar dampak dari kondisi ekonomi global, tetapi juga dipicu oleh kebijakan dalam negeri yang kurang berpihak pada industri lokal.
Menurut data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Indonesia, dalam dua tahun terakhir, sekitar 60 perusahaan tekstil tutup dan menyebabkan 250.000 tenaga kerja kehilangan pekerjaan.
Faktor-Faktor Penyebab PHK Massal di Industri Tekstil
Sihar mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya PHK massal dalam sektor ini:
1. Manajemen Perusahaan yang Buruk (Bad Management)
Salah satu penyebab utama kebangkrutan perusahaan tekstil adalah pengelolaan keuangan yang tidak efektif. Sihar menyoroti kemungkinan bahwa utang perusahaan yang membengkak dan ketidakmampuan manajemen dalam menyusun strategi bisnis yang adaptif membuat banyak perusahaan tekstil tidak bisa bertahan.
“Apakah PHK ini akibat dari manajemen perusahaan yang buruk, di mana mereka mengambil keputusan bisnis yang tidak tepat? Apakah investasi yang mereka lakukan justru menyebabkan beban utang besar? Ini yang perlu kita gali lebih dalam,” ujarnya.
Ia juga meminta agar kurator yang saat ini menangani rekening dan aset Sritex memberikan penjelasan transparan terkait kondisi keuangan perusahaan serta kemampuan mereka untuk tetap beroperasi.
2. Dampak Regulasi: Kebijakan Impor yang Tidak Terkontrol
Salah satu faktor eksternal yang memperburuk kondisi industri tekstil adalah kebijakan pemerintah yang membuka keran impor secara luas, terutama setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.
“Kebijakan ini membuka keran impor secara besar-besaran, membuat pasar domestik dibanjiri produk impor murah. Akibatnya, industri lokal semakin tertekan dan banyak yang tidak mampu bersaing,” ujar Sihar.
Ia mencontohkan bahwa banyak pengusaha yang sudah menginvestasikan modal besar dalam produksi, namun terpaksa menanggung kerugian karena harga pasar tidak naik akibat membanjirnya produk impor. Ini membuat banyak perusahaan kesulitan menjual produk mereka dengan harga yang kompetitif, hingga akhirnya memilih untuk menghentikan produksi dan melakukan PHK.
3. Dampak Krisis Ekonomi dan Perubahan Tren Konsumsi
Selain itu, faktor ekonomi global dan perubahan pola konsumsi masyarakat juga turut berperan dalam melemahkan industri tekstil. Penurunan daya beli masyarakat serta pergeseran ke produk yang lebih murah membuat industri tekstil dalam negeri semakin terjepit.
“Jika industri tekstil lokal tidak didukung dengan kebijakan yang melindungi produk dalam negeri, maka semakin banyak perusahaan yang akan tumbang,” tegasnya.
Dampak PHK Massal dan Urgensi Solusi Konkret
Selain mengidentifikasi faktor penyebab, Sihar juga menyoroti dampak luas dari PHK massal ini, yang tidak hanya berdampak pada pekerja yang kehilangan mata pencaharian, tetapi juga pada keluarga mereka yang bergantung pada pendapatan dari sektor ini.
Ia mengingatkan bahwa gelombang PHK ini dapat terus meningkat jika tidak ada intervensi serius dari pemerintah, terutama dalam mengoreksi kebijakan impor dan memberikan dukungan kepada industri tekstil lokal.
“Jika dalam dua tahun terakhir sudah ada 60 perusahaan yang tutup, maka tren ini bisa terus berlanjut jika pemerintah tidak segera mengambil langkah strategis. Kita butuh solusi konkret, bukan sekadar wacana,” tegasnya.
Tuntutan DPR RI: Pemerintah Harus Bertindak
Untuk mengatasi masalah ini, Sihar meminta Kementerian Tenaga Kerja dan instansi terkait untuk:
- Mengevaluasi kebijakan impor tekstil agar industri lokal tidak semakin terpuruk.
- Mengawal transparansi keuangan perusahaan yang bangkrut untuk memastikan hak-hak pekerja tetap dipenuhi.
- Menyusun strategi nasional untuk membuka lapangan kerja baru, terutama bagi pencari kerja terdampak PHK maupun pencari kerja pada umumnya.
- Melibatkan kurator dan manajemen perusahaan dalam diskusi publik, guna mencari solusi terbaik untuk keberlanjutan industri tekstil di Indonesia.
“Kita tidak bisa terus membiarkan kebijakan yang justru memperburuk kondisi industri nasional. Pemerintah harus hadir dan memberikan solusi nyata agar industri tekstil tidak semakin hancur,” pungkasnya.