Archive

Day: August 29, 2019

2 posts

Perlukah Wisata Halal untuk Danau Toba?

Perlukah Wisata Halal untuk Danau Toba?

Pengembangan wisata Danau Toba sedang digencarkan, kedatangan Presiden Joko Widodo dan jajarannya Juli lalu membawa angin segar kepada warga sekitar Danau Toba secara khusus dan masyarakat Sumatera Utara secara umum.

Danau seluas 1.130 km² yang terkenal akan keindahannya kini mulai diperhatikan oleh Pemerintah Pusat. Oleh tangan dingin Jokowi wilayah Danau Toba akan disulap menjadi daerah wisata kelas dunia sebagaimana Bali yang begitu tersohor keindahannya hingga ke luar negeri.

Seiring berjalannya waktu hal yang seharusnya membanggakan tersebut malah menimbulkan kekhawatiran dari beberapa kalangan mayarakat Batak. Pasalnya, pengembangan wisata kelas dunia ini turut membawa pencanangan Wisata Halal oleh Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Menurut Edy, wisatawan mancanegara yang akan datang ke Danau Toba akan berasal dari negara-negara muslim, seperti Brunei Darussalam atau Malaysia.

Bila yang dimaksudkan oleh Gubsu adalah pembangunan Masjid atau tempat makan yang bisa dinikmati umat Muslim mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun akan menjadi masalah bila yang dimaksudkan Edy malah menertibkan apa yang sudah menjadi adat istiadat dalam kehidupan mayarakat Batak, salah satunya penataan hewan berkaki empat agar tidak sembarang dipotong di tempat-tempat umum karena status Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

Sementara hewan berkaki empat seperti babi atau kerbau adalah bagian dari budaya Batak sejak lama. Melarang pemotongan hewan berkaki empat yang dicanangkan tersebut tentunya dirasa tidak menghormati adat masyarakat setempat.

Memang pengembangan wisata Danau Toba diharapkan dapat menarik wisatawan dari luar negeri untuk datang. Namun perlu diperhatikan juga agar hal tersebut tidak mengganggu adat istiadat masyarakat lokal yang menganggap pemotongan hewan adalah halal menurut mereka. Tradisi lokal, budaya setempat memiliki nilai kearifan yang tinggi.

Perlu diketahui, menghormati budaya dan tradisi lokal itu adalah bagian dari Kode Etik Pariwisata Dunia, yang telah diratifikasi oleh UNWTO, di mana kegiatan pariwisata harus menghormati budaya dan nilai lokal (local wisdom) agar tidak meresahkan masyarakat di sekitar atraksi di destinasi.

Bila menilik Bali, pengembangan pariwisata di Bali tidak pernah menambahkan halal di belakangnya. Bali memilih menjual keindahan alamnya dan budaya yang telah ada sejak dulu. Apakah kesuksesan Bali sebagai lokasi wisata kelas dunia masih diragukan?

Pembangunan Masjid, Rumah Makan Muslim, dirasa sudah cukup untuk memberi kenyaman terhadap wisatawan Muslim tanpa harus menggeser apa yang sudah membudaya di masyarakat setempat. Penggunaan embel-embel halal tentunya merupakan hal yang sensitif, karena definisi halal bagi setiap keyakinan adalah berbeda. Akan menjadi indah bila perbedaan definisi itu dapat dipahami oleh masing-masing keyakinan.

 

Oleh: Sihar P. H. Sitorus (Anggota Legislatif Terpilih DPR RI 2019-2024)

Sihar Sitorus Tolak Pencanangan Konsep Halal untuk Danau Toba

Sihar Sitorus Tolak Pencanangan Konsep Halal untuk Danau Toba

Pernyataan Gubernur Edy Rahmayadi mengenai konsep halal untuk Danau Toba, Kamis (22/08/2019) yang lalu, menjadi kontroversi di masyarakat. Gagasan tersebut dianggap tidak menghargai apa yang sudah membudaya dalam masyarakat setempat, terutama ketika menyangkut mengenai penataan ternak dan pemotongan babi. Gagasan tersebut pun ramai diperbincangkan oleh masyarakat, terutama mereka yang berasal dari suku Batak.

Perhatian tersebut juga datang dari Sihar Sitorus, salah satu Calon Legislatif DPR RI terpilih dari Partai PDI-Perjuangan. Menurut Sihar gagasan Edy tersebut malah mengadakan dikotomi atau pemisahan dalam masyarakat dan melanggar konsep Bhinneka Tunggal Ika.

“Wisata halal yang dicanangkan oleh Pemerintah menciptakan dichotomy (pemisahan/segregasi) antar umat beragama bahkan suku bangsa. Bukankah Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama namun tetap satu di dalam Indonesia sebagaimana konsep Bhinneka Tunggal Ika yang ditetapkan oleh para pendahulu negeri ini. Jika hal ini diterapkan tentu akan menciptakan diskriminasi antar satu kelompok dengan kelompok yang lain,” ujar Sihar, Kamis (29/08/2019).

Menurut Sihar, Danau Toba sudah memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh tempat lain. Konsep halal dan haram yang bertujuan untuk menarik wisatawan mancanegara yang diprediksi Edy berasal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei menurut Sihar malah mengganggu apa yang sudah ada dalam masyarakat setempat.

“Memang pengembangan wisata Danau Toba diharapkan dapat menarik wisatawan dari luar negeri untuk datang. Namun perlu diperhatikan juga agar hal tersebut jangan mengganggu adat istiadat masyarakat lokal yang menganggap pemotongan hewan adalah halal menurut mereka. Tradisi lokal, budaya setempat memiliki nilai kearifan yang tinggi,” ujar Sihar.

Sihar juga mengingatkan bahwa mayoritas penduduk di sekitar Danau Toba adalah mereka yang bersuku Batak dan beragama Kristen, dimana babi bukanlah hewan yang dilarang.

“Perlu diingat bahwa mayoritas penduduk setempat adalah Suku Batak dan beragama Kristen dimana hewan seperti babi adalah makanan yang sah untuk dikonsumsi. Mengapa pemerintah begitu sibuk mengurusi kedatangan wisatawan tanpa memikirkan apa yang telah menjadi kearifan lokal bagi masyarakat setempat?” ujarnya.

Menurut Sihar sebenarnya konsep halal dan haram tidak pernah diatur dalam UUD 1945. Konsep ini menurut Sihar malah membunuh apa yang sudah menjadi kearifan lokal Danau Toba.

“Apalagi istilah halal dan haram tidak pernah diatur dalam UUD 1945. Kebijakan ini tentunya bukan sedang memperjuangkan affirmative actions, atau kebijakan yang diambil bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Kebijakan ini malah terkesan membunuh apa yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat dan tentu saja menghilangkan kemandirian masyarakat dalam menentukan pilihan,” jelas politisi PDI-Perjuangan itu.

Sihar tidak ingin konsep halal dan haram malah menimbulkan kesombongan rohani antara satu kelompok dengan kelompok lain. Menurut Sihar, menghormati budaya dan tradisi lokal itu adalah bagian dari Kode Etik Pariwisata Dunia, yang telah diratifikasi oleh UNWTO, di mana kegiatan pariwisata harus menghormati budaya dan nilai lokal (local wisdom) agar tidak meresahkan masyarakat di sekitar atraksi di destinasi

Pembangunan masjid atau rumah makan muslim dirasa sudah cukup memudahkan wisatawan Muslim yang berkunjung sebagai bentuk penghormatan masyarakat setempat terhadap keberagaman. Namun, penertiban hewan berkaki empat seperti babi dirasa kurang tepat diterapkan di Danau Toba. Sihar menawarkan konsep wisata halal bisa diterapkan di wilayah dengan mayoritas penduduk muslim, tapi bukan Danau Toba.

“Pariwisata halal mungkin bisa diterapkan di daerah wisata dengan penduduk mayoritas muslim seperti Sumatera Barat dan Aceh. Sebagaimana wisatawan yang dating ke sana harus menghormati dan menghargai apa yang sudah menjadi kultur dan kepercayaan setempat begitupula halnya dengan yang terjadi di Danau Toba, wisatawan yang datang juga harus menghormati budaya setempat,” tutup Sihar.