Pengembangan wisata Danau Toba sedang digencarkan, kedatangan Presiden Joko Widodo dan jajarannya Juli lalu membawa angin segar kepada warga sekitar Danau Toba secara khusus dan masyarakat Sumatera Utara secara umum.

Danau seluas 1.130 km² yang terkenal akan keindahannya kini mulai diperhatikan oleh Pemerintah Pusat. Oleh tangan dingin Jokowi wilayah Danau Toba akan disulap menjadi daerah wisata kelas dunia sebagaimana Bali yang begitu tersohor keindahannya hingga ke luar negeri.

Seiring berjalannya waktu hal yang seharusnya membanggakan tersebut malah menimbulkan kekhawatiran dari beberapa kalangan mayarakat Batak. Pasalnya, pengembangan wisata kelas dunia ini turut membawa pencanangan Wisata Halal oleh Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Menurut Edy, wisatawan mancanegara yang akan datang ke Danau Toba akan berasal dari negara-negara muslim, seperti Brunei Darussalam atau Malaysia.

Bila yang dimaksudkan oleh Gubsu adalah pembangunan Masjid atau tempat makan yang bisa dinikmati umat Muslim mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun akan menjadi masalah bila yang dimaksudkan Edy malah menertibkan apa yang sudah menjadi adat istiadat dalam kehidupan mayarakat Batak, salah satunya penataan hewan berkaki empat agar tidak sembarang dipotong di tempat-tempat umum karena status Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

Sementara hewan berkaki empat seperti babi atau kerbau adalah bagian dari budaya Batak sejak lama. Melarang pemotongan hewan berkaki empat yang dicanangkan tersebut tentunya dirasa tidak menghormati adat masyarakat setempat.

Memang pengembangan wisata Danau Toba diharapkan dapat menarik wisatawan dari luar negeri untuk datang. Namun perlu diperhatikan juga agar hal tersebut tidak mengganggu adat istiadat masyarakat lokal yang menganggap pemotongan hewan adalah halal menurut mereka. Tradisi lokal, budaya setempat memiliki nilai kearifan yang tinggi.

Perlu diketahui, menghormati budaya dan tradisi lokal itu adalah bagian dari Kode Etik Pariwisata Dunia, yang telah diratifikasi oleh UNWTO, di mana kegiatan pariwisata harus menghormati budaya dan nilai lokal (local wisdom) agar tidak meresahkan masyarakat di sekitar atraksi di destinasi.

Bila menilik Bali, pengembangan pariwisata di Bali tidak pernah menambahkan halal di belakangnya. Bali memilih menjual keindahan alamnya dan budaya yang telah ada sejak dulu. Apakah kesuksesan Bali sebagai lokasi wisata kelas dunia masih diragukan?

Pembangunan Masjid, Rumah Makan Muslim, dirasa sudah cukup untuk memberi kenyaman terhadap wisatawan Muslim tanpa harus menggeser apa yang sudah membudaya di masyarakat setempat. Penggunaan embel-embel halal tentunya merupakan hal yang sensitif, karena definisi halal bagi setiap keyakinan adalah berbeda. Akan menjadi indah bila perbedaan definisi itu dapat dipahami oleh masing-masing keyakinan.

 

Oleh: Sihar P. H. Sitorus (Anggota Legislatif Terpilih DPR RI 2019-2024)